Jumat, 03 Agustus 2007

Tanggungjawab memperbaiki Diri

Untuk Kita Renungkan
Jumat, 3 Agustus 2007
Dear Rekans,
Setelah lebih dari 4 minggu forum in sempat menghilang, rasa syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena telah mengizinkannya kembali menyapa kita semua. Pada kesempatan ini pula, saya ingin mengucapkan selamat bergabung bagi seorang rekan kita. Semoga forum renungan ini bisa memberikan nilai tambah dalam kehidupan kita masing-masing. Amin ...
Rekan, kali ini saya ingin membuka forum renungan kita dengan serangkaian kalimat yang pernah diutarakan oleh Ralph Marstone : ”Akuilah kesalahan Anda dan perhatikan baik-baik. Ambillah tanggungjawab untuk memperbaikinya dan belajarlah dari kesalahan. Kesalahan adalah guru. Mengetahui apa yang tidak bekerja akan menjadi modal utama untuk menentukan mana yang bisa bekerja”.
Mungkin kalimat diatas tidak terlalu istimewa. Tapi jika kita harus jujur menjawab, berapa banyak diantara kita yang berani tampil ke depan dan mengakui kesalahan yang telah kita perbuat di depan orang-orang yang kita kenal ? Berapa banyak diantara kita yang mempunyai keberanian untuk memohon maaf atas kesalahan tersebut ? Dan berapa banyak pula diantara kita yang bersedia memperbaiki kesalahan tersebut ?
Mungkin kalau kita harus jujur dengan apa yang kita lihat disekitar kita, kelihatannya lebih banyak orang yang berusaha berpaling dari kesalahan yang mereka perbuat. Banyak orang yang lebih senang mencari ”Kambing Hitam” daripada mengakui bahwa dialah yang sebenarnya penyebab utama. Lebih banyak orang yang justru tidak mempunyai iktikad baik untuk memperbaiki kesalahan tersebut atau justru ”memaksa” orang lain yang membenahinya ... Mungkin hal – hal inilah yang menjadi penyebab utama kehancuran bangsa kita.
Saya yakin kita semua masih ingat akan Piala Asia yang baru saja usai. Saya tidak ingin membahas perihal ”kehebatan” Tim Merah Putih atau sejarah yang telah diukir oleh sang juara Iraq - sebuah negara yang masih tercabik-cabik oleh perang. Saya justru ingin mengajak kita semua memalingkan pandangan sejenak ke negeri jiran, Malaysia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah persepakbolaan Malaysia, mereka dipermalukan dengan lusinan gol yang bersarang di gawang tim nasional mereka. Dan yang lebih parah lagi, kejadian ini terjadi didepan ribuan pendukung fanatik dan didalam stadion Bukit Jalil – sebuah stadion yang bisa dikatakan megah. Apapun alasan dan penyebabnya, yang perlu diacungkan jempol adalah sikap para pimpinan FAM (Football Association of Malaysia) – semacam PSSI. Mereka langsung berbondong – bondong mengundurkan diri dari tampuk kepemimpinan sebagai rasa tanggungjawab atas peristiwa memalukan yang bisa dikatakan paling menggemparkan setelah Konfrontasi Indonesia–Malaysia beberapa puluh tahun lalu. Sungguh suatu sikap ksatria. Sangat kontras dengan apa yang terjadi dengan PSSI selama ini. Selalu pelatih yang dianggap bertanggungjawab. Mungkin disatu sisi benar. Namun jika seorang pelatih tidak mempunyai kebebasan absolut untuk memilih pasukannya – yang notabene banyak titipan dari pemilik / pengurus klub – yang notabene juga adalah pengurus PSSI, apakah pantas pelatih yang disalahkan ??? Itulah salah satu penyebab kenapa Kesebelasan Indonesia yang sering mendapat predikat juara Asia di level Pelajar, selama ini tidak pernah meraih prestasi membanggakan ditingkat senior. Kenapa ?? Karena jangankan mau belajar dari kesalahan, mengakui kesalahan pun tidak ada yang cukup ksatria ...
Dr. Denis Waitley pernah menyampaikan : ”Ada dua pilihan pokok dalam hidup ini : menerima kondisi apa adanya atau menerima tanggungjawab untuk mengubahnya”.

Nah ... kalau kita melihat contoh kasus PSSI atau bahkan kebanyakan manusia dalam kehidupan ini, tampaknya pilihan pertama yaitu MENERIMA KONDISI APA ADANYA merupakan pilihan yang sangat populer. Jarang sekali seorang manusia mau MENERIMA TANAGGUNGJAWAB untuk mengubah kesulitan / kesalahan dalam kehidupan masing - masing agar menjadi lebih baik. Kecenderungannya justru menyalahkan pihak lain atas kesulitan yang mereka alami. Sayangnya mereka tidak sadar, dengan selalu menyalahkan pihak lain atas apa yang dialami oleh mereka, secara perlahan tapi pasti mereka justru membukakan jalan seluas-luasnya bagi pihak lain tersebut untuk mengendalikan / mengontrol kehidupan mereka. Bukankah ini sama saja ”Boneka Hidup”. Bak kata pujangga ”Antara ada dan tiada ...”. Secara wujud, mereka memang hadir dalam kehidupan ini namun mereka tidak memiliki kendali atas kehidupan mereka sendiri.
Rekan, sebagian diantara kita juga lebih suka berpangku tangan jika melihat kesalahan yang diperbuat oleh orang lain. Bukannya berbuat sesuatu untuk menyadarkan orang tersebut melainkan malah bersuka cita atas kesalahan yang diperbuatnya. ”Biar mampus ... Pasti dia akan dicopot dari jabatannya ... Ini membuka peluang bagi saya ...” begitulah kira-kira yang sering hadir dalam hati orang-orang seperti ini jika melihat orang lain berbuat salah. Adalah betul kesalahan orang lain bisa merupakan keuntungan bagi kita. Tidak ada yang salah dengan pendapat tersebut. Tapi alangkah baiknya jika kita mengambil keuntungan dari kesalahan orang lain tersebut dengan cara-cara yang ksatria. Bak kata orang Medan : ”Yang cantik lah mainnya ...”. Justru jika kita bisa menunjukkan bahwa kita mampu membantu memperbaiki kesalahan yang dilakukan oleh orang lain - terlepas orang tersebut mengakuinya atau tidak, mata dunia akan memandang positif terhadap diri kita dan kemampuan kita. Percayalah ... jika hal tersebut bisa kita lakukan, kemudahan demi kemudahan serta keuntungan demi keuntungan akan silih berganti menyapa kita dengan mesra.
Rekan, banyak diantara kita yang suka menunggu orang lain untuk melakukan sesuatu sebelum kita ikut melakukannya. ”Dia yang berbuat salah diam – diam aja, masak saya yang harus menyuci piring kotornya ...”. Ada ungkapan yang saya yakin sudah sangat akrab dengan telinga kita : ”For Things to Change, I Must Change First …”. Senada dengan ungkapan tersebut, Sir Winston Churchill pernah berkata : ”Sebelum Anda dapat menggerakkan orang secara emosi, Anda harus lebih dahulu menggerakkan emosi Anda. Sebelum Anda dapat menghapus air mata mereka, Anda harus lebih dahulu meneteskan air mata Anda. Untuk meyakinkan mereka, lebih dahulu yakinkanlah diri Anda.”
Rekan, marilah kita mengubah sikap kita mulai saat ini juga. Jangan kita selalu menunggu orang lain yang memulainya. Mulai saat ini, beranilah mengakui kesalahan – kesalahan yang kita perbuat. Karena hanya dengan tindakan tersebut kita akan mau belajar dari kesalahan yang ada dan sekaligus mencari jalan keluar yang terbaik.
Sebagaimana yang seringkali saya sampaikan pada saat saya berceramah perihal kesehatan diri dan cara penyembuhan terbaik : ”Hal yang terpenting dalam penyembuhan sebuah penyakit adalah mengakui bahwa memang kita mengidap penyakit tersebut ...”.
Warmest regards,
Doc-Ik