Kamis, 09 Agustus 2007

Budaya "Nobody is Perfect"

Budaya “Nobody is Perfect“

Oleh Dr Iken Lubis

 

”Tidak akan pernah ada sesuatu yang dapat dikerjakan jika seseorang menunggu sampai ia dapat mengerjakannya sebaik mungkin sedemikian rupa sehingga tak ada seorang pun yang menemukan kekurangannya ...” – John Henry C. Newman

 

Rekan, tak terasa sudah dua tahun forum renungan ini ”beredar” ditengah-tengah kita. Semoga kita semua mendapatkan manfaat dari forum ini. Saya sadar sepenuhnya bahwa terkadang ulasan dalam renungan ini bisa menyinggung perasaan beberapa orang dari kita. Untuk itu, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Percayalah, saya tidak bermaksud untuk menorehkan segores luka dihati para sahabat, semua karena saya ingin membuka mata kita semua terhadap kehidupan yang terkadang harus kita akui agak sedikit tidak bersahabat.

 

Rekan, sepenggal kalimat pembuka diatas sengaja saya tampilkan sebagai penyapa forum kali ini. Jika kita telaah, mungkin sebagian besar dari kita, jika tidak bisa dikatakan seluruhnya, pernah tiba pada satu kondisi dimana kita merasa ”belum siap” untuk melakukan suatu hal hanya dikarenakan takut kalau akan terdapat kekurangan. ”Nobody is perfect ...”, ungkapan tersebut sudah sangat akrab dengan telinga kita. Bahkan mungkin terlontar dengan lancar dari celah-celah bibir kita sendiri. Tapi kenapa masih saja ketakutan akan kegagalan itu muncul juga ... ???

 

Perusahaan tempat saya bekerja baru saja mengadakan sabuah acara Outing. Acara berlangsung begitu meriah dan dapat digolongkan sebagai acara Outing yang tersukses dalam sejarah perusahaan. Namun dibalik itu semua, ada cerita lucu tatkala penunjukan Ketua Panitia Pelaksana. Saat saya menginformasikan kepada seorang rekan bahwa dia ”terpilih” atau lebih tepatnya ”diminta” untuk menjadi Ketua Panitia Pelaksana, jawaban spontan yang keluar dari mulutnya adalah ”Woalah ... Mate aku ...”. He he he ... sungguh respons yang tulus. Kenapa hal ini bisa terungkap dari mulut seorang rekan yang memang dikenal pekerja keras ? Tentu ... tidak terlepas dari apa yang diungkapkan diatas.

 

Mungkin rasa takut mengecewakan orang lain jika acara tidak berlangsung dengan sukses ... Apakah salah ??? Tidak !!! Sungguh sangat manusiawi. Hanya saja, kata-kata John Henry C. Newman diatas perlu disampaikan kepadanya dengan sesegera mungkin. Dan hasilnya ... terlepas dari kekurangan kecil yang bisa diabaikan, acara berlangsung sangat sukses. Apa yang ingin saya sampaikan disini adalah, kita tidak perlu memikirkan hal-hal negatif yang belum tentu akan datang menyapa sebagai hasil dari pekerjaan yang kita lakukan. Jauh lebih baik adalah perencanaan yang matang yang perlu disiapkan. Rekan saya sudah membuktikan hal tersebut bisa terjadi. Jika rekan saya ini bisa, apa yang menyebabkan kita berpikiran kita tidak bisa ??? Sekali lagi, bukan masalah bisa atau tidak bisa. Tapi masalahnya apakah kita mau memulai pekerjaan itu atau tidak ...

 

Rekan, tadi malam saya kebetulan pulang bersama seorang rekan. Ditengah perjalanan, kami membahas sebuah buku yang berjudul Entrepreneurship – sayang sekali saya lupa nama pengarangnya – yang menurut saya cukup bagus untuk dibaca. Didalam buku tersebut, ada serentetan kalimat yang saya rasakan sangat baik disampaikan dalam forum ini. Sang penulis menuliskan ”Pada dasarnya semua orang memiliki jiwa Entrepreneurship. Hanya saja banyak yang tidak mampu melihat kesempatan yang ada. Jika pun mereka mampu melihat kesempatan yang ada, mereka takut untuk mencoba / memulai meraihnya. Jika pun mereka mampu melihat kesempatan yang ada dan mau mencoba / memulai meraihnya, mereka takut gagal. Jika pun mereka mampu melihat kesempatan yang ada, mau mencoba / memulai meraihnya dan ternyata mengalami kegagalan, mereka tidak mau mencoba kembali untuk memulainya dengan pendekatan yang lebih baik lagi ...”

 

Rekan, mengakhiri forum renungan kali ini saya ingin menyimpulkan tulisan diatas. Inti dari tulisan diatas adalah semua dari kita dilahirkan dengan bakat yang luar biasa. Oleh karenanya, tidak perlu kita khawatir bahwa kita tidak dapat mengerjakan suatu pekerjaan dengan sempurna. Permasalahannya adalah mau atau tidak kita mencoba mengerjakannya. Tanpa kita kerjakan, mana mungkin kita tahu hasilnya ... Just believe in yourselves ... Seperti yang sering saya sampaikan : ”Don’t under-estimate your capabilities, but don’t you ever be over confidence …”. Rekan, ”Tidak masalah berapa banyak susu yang Anda tumpahkan pada saat memerah sapi selama Anda tidak kehilangan sapi nya” – Harvey Mackay (02.03.07)


 

Melangkah di Tahun Baru

Melangkah di Tahun Baru

Oleh Dr Iken Lubis

 

Pertama-tama perkenankanlah saya, walaupun agak terlambat, mengucapkan ”Selamat Hari Natal dan Tahun Baru 2007”. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan yang terbaik bagi kita semua di tahun ini. Amin ... Pada kesempatan edisi perdana di tahun 2007 ini.

 

Rekan, tak terasa kita sudah tiba di tahun 2007. Mungkin banyak diantara kita yang terlalu sibuk merenungkan apa yang telah dicapai pada tahun 2006 yang lalu. Apakah itu suatu tindakan yang baik ? Saya pribadi kurang setuju dengan hal tersebut. Biarkanlah kehidupan dan pencapaian kita di tahun 2006 lalu tersimpan rapi dalam benak kita sebagai memori ... tidak perlu kita renungkan lagi ... Mengapa ??? Apa salahnya melakukan interospeksi ??? Tidak … tidak ada yang salah. Hanya saja, kita akan terjebak dalam dilema pertanyaan “Mengapa ... ?”, “Andai saja ... ” dan seterusnya yang justru akan menurunkan semangat kita memulai langkah kita di tahun 2007 ini.

 

Ada sebuah kalimat dari Brian Tracey yang baik sekali untuk kita renungkan : ”Luangkanlah 80% dari waktu mu untuk memfokuskan diri mencari peluang-peluang hari esok dibandingkan merenungkan permasalahan-permasalahan hari kemarin …”. Beliau mengajak kita semua untuk lebih focus kepada masa depan disbanding berkutat di masa lalu. Suatu ajakan yang sangat baik untuk diikuti … Senada dengan Brian Tracey, Greg Anderson pernah berkata : “Berhentilah berangan-angan seandainya keadaan tidak seperti ini. Daripada membuang waktu, tenaga dan emosi untuk mencari jawaban kenapa kita tidak bisa mendapatkan apa yang kita cita-citakan, lebih baik kita mulai mencari jalan lain untuk meraihnya .. “.

 

Rekan, ada baiknya kita mulai melangkahkan kaki kita menelusuri jalan terjal 2007 ini dengan pertanyaan ”Bagaimana …?” dan bukan “Kenapa …?” atau “Seandainya …?”. Mungkin banyak diantara kita yang bingung dengan tujuan yang ingin dicapai di tahun 2007 ini. Bahkan mungkin banyak diantara kita yang berkata : “Yah … gimana nantilah. Pokoknya dijalani aja …”. Sungguh bahaya !!! Kepribadian-kepribadian inilah yang sangat mudah diombang-ambing oleh situasi dan kondisi kehidupan. Biasanya mereka inilah yang akan memulai lembaran baru dengan “Kenapa …?” atau “Sandainya ..?”.

 

Rekan, salah satu kunci untuk meraih sukses di zaman yang semakin “jahiliyah” ini adalah hubungan sesama kita. Tanpa hubungan yang harmonis, hampir bisa dipastikan bahwa kesuksesan akan sukar mendekati kita. Diakui atau tidak, kita tidak bisa meraih sukses dengan sendirinya. Kita pasti membutuhkan orang lain untuk meraihnya. Adalah penting membina hubungan yang baik dengan sesama kita. Maya Angelou mengungkapkan satu kalimat yang menurut saya sangat tepat : “Orang akan mudah melupakan apa yang kau katakan, orang juga akan dengan mudahnya melupakan apa yang kau lakukan, tapi orang tidak akan lupa bagaimana kau membuat perasaan mereka …”.

 

Dalam rangka memulai upaya kita meraih sukses di tahun 2007 ini, saya mengajak kita semua untuk mencoba sekuat tenaga membina hubungan baik dengan sesama. Ingatlah, suatu waktu kita akan membutuhkan orang lain sebagai ”katalisator” kesuksesan yang sudah diambang pintu. Masalahnya ... maukah kita ??? (05.01.07)

 

Manusia-Manusia Sejati

Manusia-Manusia Sejati

Oleh Dr Iken Lubis

 

Ada sebuah kalimat panjang yang pernah diutarakan oleh Rudyard Waitley : “Jika Anda mampu berkepala dingin di saat sekeliling Anda kehilangan akal dan menyalahkan Anda; jika Anda bisa percaya diri saat orang lain meragukan Anda, tetapi tetap memperhatikan juga keraguan mereka; jika Anda bisa menunggu tanpa jemu dan tidak membalas kebohongan dengan kebohongan atau kebencian dengan kebencian; jika Anda bisa tahan mendengar kebenaran yang Anda katakan di plintir oleh orang licik untuk mempengaruhi orang–orang bodoh; atau melihat jerih payah Anda dihancurkan tapi gigih bertahan membangunnya kembali dengan morat–marit; jika Anda bisa bergaul dengan rakyat jelata tanpa menjadi kampungan dan dengan raja-raja tanpa menjadi sombong; jika lawan maupun kawan tidak bisa merusak Anda … maka Anda sungguh manusia sejati.”

 

Rekan, banyak teori yang diajukan oleh manusia tentang arti ”Manusia Sejati”. Apa yang ditulis oleh Rudyard Waitley diatas, paling tidak menurut saya, adalah gambaran menyeluruh tentang arti ”Manusia Sejati” sesungguhnya. Pertanyaannya adalah, apakah ada diantara kita yang bisa dengan bangga mengatakan ”Saya ternyata sudah tergolong Manusia Sejati ...” ? Apakah ada ??? Berapa banyak diantara kita yang mampu meredam emosi tatkala lingkungan kita menuding kita sebagai ”biang” kegagalan dan kehancuran ? Mampu kah kita menahan amarah di situasi seperti itu jika kita sendiri tidak dapat menahan emosi tatkala anak kita tanpa sengaja menjatuhkan motor kesukaan kita ? Atau tatkala si kecil memecahkan jambangan bunga yang diboyong dari luar negeri ? Atau …

 

Rakan, berapa banyak diantara kita yang mampu mempertahankan kepercayaan diri dikala lingkungan sekitar kita bahkan mungkin teman-teman terdekat kita meragukan kemampuan yang kita miliki ? Seringkali kita merasa “Down” dan hilang rasa percaya diri kita saat ada pihak yang meragukan. Seharusnya kita justru merasa tertantang dengan “keraguan” yang ada. Seharusnya kita merasa wajib menunjukkan kebisaan kita bukan sebaliknya malah bermuram durja. Keberhasilan dan kegagalan bukanlah isu utama. Kemauan kita untuk melakukannya … itulah yang terpenting. Sir Winston Churchill pernah berkata : “Sukses bukanlah akhir dari perjalanan, dan kegagalan bukanlah bencana besar. Yang terpenting adalah keberanian untuk meneruskan perjuangan.”

 

Rekan, mungkin ada diantara kita yang berbisik pelan : ”Hanya Superman yang bisa menjadi Manusia Sejati” … atau “Hanya Robot yang bisa menjadi Manusia Sejati karena tidak memiliki perasaan” … Bisa saja pernyataan tersebut benar. Adalah hal yang sungguh tidak mudah untuk memenuhi kriteria untuk menjadi Manusia Sejati. Mungkin kita tidak dapat menjadi seorang “Manusia Sejati” seperti yang digambarkan oleh Rudyard Waitley diatas. Tapi paling tidak kita harus mencoba untuk mendekatkan diri kita dengan “gelar” tersebut. Ada sepotong kalimat dari Bob Collings : “Bila manusia sangat termotivasi, adalah hal yang mudah untuk mencapai sesuatu yang dirasakan tak mungkin. Dan bila mereka tidak memiliki motivasi, adalah hal yang tak mungkin untuk mencapai sesuatu yang mudah.”

 

Rekan, jika kita menginginkan sesuatu, tentu ada “harga” yang harus dibayar. “Harga” dalam hal ini bukan semata-mata berarti uang melainkan bisa juga waktu, tenaga, keringat bahkan cucuran airmata dan tetesan darah. Sama halnya jika kita ingin menjadi “Manusia Sejati”. Dari tulisan Rudyard Waitley diatas, dapat saya simpulkan bahwa ada paling tidak 7 hal yang harus kita siapkan untuk dapat mendekati predikat ”Manusia Sejati” :

1. Tetap “berkepala dingin” disaat emosi datang menggoda.

2. Jangan biarkan kepercayaan diri Anda luntur hanya karena keraguan orang terhadap kemampuan Anda.

3. Peliharalah sifat sabar.

4. Jujur dan jauhkan diri dari rasa benci. Jangan balas kebathilan dengan kebathilan.

5. Jangan pernah berhenti mencoba.

6. Bergaul tanpa memilih golongan.

7. Cepat beradaptasi dengan lingkungan.

 

Mustahil ? Tentu tidak. Sebagaimana yang telah sering saya katakan. Permasalahannya bukanlah bisa atau tidak bisa, tapi mau atau tidak mau kita mencoba untuk meraihnya .

Sebagai penutup forum renungan kali ini, ada sepenggal tulisan Conrad Hilton yang menurut daya sangat baik untuk kita renungkan : “Orang-orang yang sukses selalu melangkah ke depan. Mereka juga membuat kesalahan, tapi mereka tidak pernah berhenti berusaha… “ Oleh karenanya rekan … janganlah kita berhenti berusaha … (06.10.06)

 

Sang Pahlawan Keluarga

Sang Pahlawan Keluarga

 

Oleh Dr Iken Lubis

 

Hari ini, tanggal 10 Nopember 2006, merupakan Hari Pahlawan di Indonesia. Sebagaimana ungkapan yang tersohor : ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa Pahlawannya ...”, saya rasa tidak ada salahnya pada kesempatan kali ini kita coba merenungkan arti Pahlawan itu sendiri ...

 

Rekan, banyak diantara kita yang mengartikan Pahlawan sebagai sosok ”Pejuang” yang mengangkat senjata demi kemashlahatan bersama. Namun jika kita perhatikan Taman Makam Pahlawan di Kalibata, ternyata tidak sampai 50 % yang dikebumikan disana berasal dari usur ”Pejoeang” atau Tentara. Ternyata banyak juga rakyat sipil. Bahkan pada kesempatan hari ini, Presiden Republik Indonesia menganugerahkan gelar ”Pahlawan Nasional” kepada mayoritas rakyat sipil.

 

Rekan, saya tidak bermaksud untuk berpolemik akan arti Pahlawan itu sendiri. Tapi, semakin saya menelaah sebuah ungkapan di awal renungan ini, ternyata saya tiba pada kesimpulan bahwa mungkin saja apa yang dikatakan sebagai ”Pahlawan” pada ungkapan itu adalah semua orang yang pernah membela ”kita”. Bukan hanya pejuang. Bahkan semakin dalam saya merenungkan, semakin dekat saya pada kesimpulan bahwa justru ”Pahlawan” sebagaimana yang dimaksud pada ungkapan diatas paling pantas diberikan kepada orangtua kita sendiri. Bukankah merekanlah yang paling berjasa ”mengusahakan” kita hadir didunia ini ? Bukankah mereka yang dengan penuh kasih sayang membesarkan kita ? Bukankah mereka yang telah mengucurkan keringat dan terkadang darah dan air mata demi makanan yang senantiasa ada di meja makan untuk kita santap ? Bukankah mereka yang menerjang kerikil tajam kehidupan dengan kaki bertelanjang yang terkadang menorehkan goresan-goresan luka demi tersedianya dana yang cukup agar kita dapat mengenyam pendidikan ? Bukankah mereka yang tak pernah bosan-bosannya mengejarkan kita norma-norma kehidupan ? Apakah mereka belum pantas diberikan gelar ”Pahlawan” ?

 

Rekan, satu lagi ”Pahlawan” yang jarang sekali kita akui adalah pasangan kita masing-masing. Kita selalu mengingat jasa-jasa orangtua kita, kita selalu mengingat tingkah laku anak-anak kita tapi apakah kita sering mengingat betapa besar jasa pasangan kita demi ”membesarkan” keluarka kita sendiri ? Jika harus berkata jujur, mungkin tidak sampai sepertiga dari kita yang mengaku bahwa dia selalu mengingatnya ... Begitu sombongnya kah kita ???

 

Seorang sahabat beberapa waktu lalu datang kepada saya. Dia mengeluhkan kondisi rumah ttangga nya yang diambang kehancuran. Padahal bahtera rumahtangga tersebut sudah diharungi selama 10 tahun. Yang saya sesalkan adalah, tidak tampak sedikitpun rasa sedih atas apa yang bisa saja menimpa. Kelihatannya memang sudah bulat tekadnya untuk menjalani kehidupan melalui jalan masing-masing yang berbeda. Apakah sudah tidak terbayang masa indah dahulu sewaktu masih mulai membina mahligai rumahtangga ? Apakah sudah tidak ada tersisa sedikit pun rasa kebersamaan sewaktu mengganti lantai rumah yang beralaskan tanah menjadi lantai yang berhiaskan marmer ?

 

Apakah sudah tidak ada lagi tersisa perasaan yang terwujud indah saat bahu membahu mengumpulkan uang untuk menggantikan televisi hitam putih pemberian orangtua menjadi TV LCD 50”, kulkas satu pintu hadiah pernikahan menjadi kulkas dua pintu side to side ? Apakah tidak ada lagi perasaan sayang seperti saat sang suami memeluk tatkala rasa takut datang menghantui hanya karena kucing-kucing liar bergaduh diatas genteng ... ??? Rekan, saya yakin seyakin-yakinnya, jika kita mau mengingat jasa-jasa pasangan kita (tentunya begitu pula sebaliknya), hal semacam ini pasti tidak akan berani menghampiri. Setiap rumahtangga pasti pernah dihampiri beda pendapat atau bahkan perdebatan, namun jika kita mau mengingat satu saja jasa pasangan kita yang paling membekas dihati kita, nescaya ... semua itu akan ada jalan keluar nya. Apakah kita terlalu congkak untuk mengingat hanya satu saja jasa pasangan kita yang membekas dihati kita masing-masing ?

 

Rekan, semua ini tentunya tergantung pada kita sendiri. Mungkin merubah diri adalah hal yang sukar. Kalau pekerjaan di kantor yang segudang itu saja bisa kita ingat, apakah yang menyebabkan kita tidak bisa mengingat satu saja jasa pasangan kita yang paling membekas dihati kita masing-masing ? Masalahnya mau atau tidak kita merubah pola pikir kita. Saya sangat yakin sebagian dari kita selalu mengingat jasa kita kepada pasangan kita dan bukannya sebaliknya. Mungkin ada baiknya kita mulai merubah pola pemikiran tersebut. Demi kemajuan dan pertumbuhan keluarga kita ... Gail Sheehy pernah menuliskan : “Jika kita tidak berubah, kita tidak akan maju / tumbuh. Jika kita tidak maju / tumbuh, kita sebenarnya tidak hidup ... .” Rekan, anggaplah pasangan Anda sebagai ”Pahlawan” yang jasa-jasanya perlu diingat terus-menerus. (10.10.06)

 

Kekuatan Mimpi

Kekuatan Mimpi

Oleh: Dr Iken Lubis

 

 “Jika seorang yakin atas mimpi-mimpinya (cita-citanya), dan berupaya untuk menjalani hidup seperti yang dia bayangkan, sukses akan datang tanpa disangka-sangka” - Henry David Thoreau.

 

Renungan kali ini, saya mulai dengan sebuah kalimat yang begitu populer dari Henry David Thoreau. Sepotong kalimat sederhana tersebut terkesan terlalu meremehkan kerasnya kehidupan. Apakah sesederhana itu seseorang akan mencapai kesuksesan yang dia bayangkan ? Tentu tidak ... Diperlukan kerja keras dan keinginan yang kuat untuk mewujudkannya.

 

Rekan, saya teringat kata-kata saorang sahabat beberapa tahun lalu ... ”Ah ... boro-boro nabung, untuk sehari-hari aja nggak pernah cukup ... ” demikian ujarnya. Saat itu saya bertanya kepada sahabat ini, ”Apa sebenarnya yang kau tuju dalam hidupmu ? Apa yang ingin kau capai?”. Dengan lugu dia menjawab ”Saya ingin memiliki sebuah rumah dimana saya bisa hidup bahagia dengan keluarga saya. Saya ingin bersama isteri tercinta membesarkan anak-anak kami nantinya ...”. Sungguh ... suatu pengakuan yang tulus … “Tapi apa mungkin saya mewujudkannya ...” lanjutnya dengan nada putus asa. Saat itu, saya menyarankan dia untuk membuka sebuah rekening tabungan tanpa kartu ATM. Lalu setiap bulan dia harus mau menyisihkan 100 – 200 ribu rupiah dari gaji nya. ”Potonglah biaya kenakalan mu. Pasti suatu saat kau dapat membeli rumah.” Pembicaraan kami berakhir disitu. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan hingga tahun berganti tahun, ”obrolan pepesan kosong” tersebut menguap tak berbekas.

 

Harus saya akui, saya pun sebenarnya sudah lupa tentang obrolan tersebut. Beberapa hari lalu, sekitar 2 dua tahun setelah obrolan pepesan kosong tersebut, saya sedikit terperanjat bercampur bangga ... sahabat saya menyampaikan bahwa dia telah berhasil mengumpulkan sejumlah uang untuk dijadikan ”Uang Muka” pembelian sepetak rumah dengan dua kamar tidur walau lokasinya masih sedikit diluar Jakarta ... ”Saya bisa mengumpulkan uang karena saya membuka rekening tabungan tanpa kartu ATM” jawabnya saat saya tanya bagaimana dia bisa mengumpulkan uang, ”Seperti saran Dokter ...” lanjutnya. Tersentak, haru, bangga dan bahagia seakan menyatu dalam diri. ”Ternyata, terlepas dari sikapnya yang sedikit urakan dan konyol, tekad orang ini untuk mewujudkan mimpinya perlu diacungkan jempol ...” ujar saya dalam hati dengan sedikit tersenyum.

 

Rekan, apa yang ingin saya sampaikan disini adalah salah satu bukti bahwa keyakinan kita terhadap ”mimpi” kita dengan disertai kerja keras dan keinginan yang kuat memang bisa membuahkan kesuksesan tanpa disangka-sangka. Akan celaka jika kita buta akan kemampuan kita untuk meraih ”mimpi” kita. Sebagaimana yang disampaikan oleh Helen Keller : ”Adalah suatu hal yang buruk jika kita menjadi buta, tapi adalah suatu hal yang lebih buruk jika kita memiliki mata namun tidak bisa melihat”. Terkadang mata kita dibutakan oleh rasa frustasi ... rasa kalah sebelum bertanding ...

 

Mahalnya Sikap Disiplin

Mahalnya Sikap Disiplin

 

Oleh : Dr Iken Lubis

 

”Perbedaan antara ”Orang Besar” dengan orang kebanyakan adalah ”Orang Besar” menciptakan hidup mereka secara aktif sedangkan orang kebanyakan diciptakan oleh kehidupan mereka dan secara pasif menunggu / membiarkan kehidupan membawa mereka ke titik selanjutnya. Perbedaan mendasar dari keduanya adalah ”Orang Besar” benar-benar hidup sedangkan orang kebanyakan hanya sekedar ada dalam kehidupan ...” – Michael E. Gerber.

 

Rekan, potongan kalimat diatas sengaja saya tuliskan dalam forum kali ini untuk mengingatkan kembali akan pentingnya menjadi ”Orang Besar”. Jika kita tidak mau jalan hidup kita ”diatur/ditentukan” oleh kehidupan kita, kita harus mulai mengambil langkah untuk secara aktif mengatur kehidupan kita. Apakah mudah ? Tentu jawabannya tidak. Sebagaimana yang pernah diutarakan oleh Jenderal Norman Schwarzkopf : ”Kenyataannya adalah kita merasa selalu mengetahui hal yang harus dikerjakan. Apa yang berat adalah bagaimana melakukannya ...”

 

Satu hal yang pasti, kita harus bisa mendisiplinkan diri kita untuk pantang menyerah dengan keadaan. Tentunya hal ini tidak akan berhasil jika dari hal yang kecil kita tidak mau memelihara disiplin. Misalkan saja datang ke tempat kerja. Berapa banyak diantara kita yang menyandang predikat ”Juara Telat” yang terkadang dimasukkan dalam Daftar Juara setiap bulannya ? Dengan tidak bermaksud menyinggung perasaan rekan-rekan yang merasa masuk dalam kelompok tersebut, kebiasaan ini sebenarnya tanpa disadari membuat kita mudah melecehkan ”disiplin”. Jika kita perhatikan sekeliling kita, saat ini terjadi apa yang saya istilahkan dengan ”Dekadensi Disiplin” dalam masyarakat kita. Coba kita perhatikan di jalan raya. Beribu motor seakan tidak perduli dengan rambu-rambu yang ada. Sudah jelas lampu lalulintas masih berwarna merah, eh ... malah lirik kanan kiri lalu menerobos ... Sudah jelas jalanan sedang macet, eh ... malah naik ke trotoar menyingkirkan dan bahkan menyerempet pejalan kaki yang tidak berdosa.

 

Rekan, berapa banyak diantara kita yang punya kebiasaan selalu membuang sampah (sekecil apapun) di tempat sampah ? Saya yakin seyakin – yakinnya pasti hanya sedikit. Saya pun merasa belum mampu berdisiplin dalam hal yang satu ini. Dahulu, pemerintah daerah sudah menyediakan tempat sampah yang jumlahnya cukup banyak. Hampir setiap 200 – 300 meter ada tong sampah. Satu untuk sampah organik dan satu untuk sampah anorganik. Apa yang terjadi ? Sampah tetap banyak dibuang dijalan, trotoar bahkan selokan. Tong sampah pun berusia pendek. Berpindah tangan alias di curi oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Orang-orang seakan sudah tidak perduli dengan aturan. Melanggar peraturan sudah kita rasakan biasa ... ”Ah ... paling hanya ngasih ”ceban” udah lolos.” Apa yang telah terjadi dengan kita, Bangsa Indonesia ?

 

Rekan, disiplin memang sangat berat untuk dipikul. Namun jauh lebih berat rasa penyesalan yang bisa timbul akibat kita tidak mau memelihara sikap disiplin. Sebagaimana yang pernah diucapkan oleh Jim Rohn : ”Kita semua harus mengalami paling tidak satu dari dua rasa sakit; sakitnya menjalani hidup dengan penuh disiplin atau sakit akibat penyesalan yang mendalam karena melecehkan disiplin. Perbedaannya adalah sakit akibat menjalani hidup dengan penuh disiplin hanya seberat beberapa ons sedangkan akibat penyesalan karena tidak disiplin bisa seberat beberapa ton.” Jika kita diminta untuk memilih, yang manakah yang akan kita pilih ? Rekan, Tom Hopkins pernah mengingatkan kita : ”Jika Anda tidak bersedia memelihara disiplin, Anda tidak akan dapat menyelesaikan 2 % dari apa yang seharusnya Anda dapat selesaikan dan Anda akan kehilangan 98 % dari hal – hal yang baik yang seharusnya Anda peroleh.” Negara tetangga kita seperti Singapura dan Malaysia paham betul makna dari nasehat diatas. Dan mereka sudah membuktikan kepada kita, Bangsa Indonesia, apa arti dari nasehat tersebut. Bayangkan saja,

 

Negara kita yang notabene bisa dikategorikan sebagai salah satu negara dengan sumber daya alam terlengkap didunia yang jika seluruhnya bisa dimanfaatkan secara benar akan menjadikan negara kita sebagai salah satu Negara Terkaya di Dunia, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kedua negara yang saya sebutkan tadi. Bukan berarti saya tidak Nasionalis. Saya seorang Nasionalis sejati. Namun jika kita harus jujur, apa yang tidak kita miliki. Minyak ... kita punya. Emas ... kita miliki. Tanah yang subur … tersebar sampai pelosok negeri. Ikan yang berlimpah … tidak ada bandingannya di dunia. Sedangkan mereka ? Jauh dibandingkan kita. Sumber daya alam ke dua Negara tersebut jika digabungkan mungkin tidak sampai 25 % dari Sumber Daya Alam kita. Tapi kenapa perekonomian mereka bisa sangat maju ??? Jawabnya sederhana … DISIPLIN.

 

Sejak usia dini, mereka di biasakan dengan disiplin tinggi. Ibaratkan, tanpa disiplin mungkin kehidupan mereka terasa hambar ... bak malam tak berbintang. Rasa disiplin yang tinggi inilah yang bisa mengikis habis korupsi dan sebagainya. Saya tidak mengatakan disana tidak ada korupsi. Seperti biasa, pasti ada duri dalam daging. Diantara komunitas yang menjunjung tinggi disiplin, tentunya ada saja yang menjadi benalu. Ini sudah hukum alam.

 

Rekan, kembali kepermasalahan semula. Jika kita mau menjadi “Orang Besar”, mulailah dengan memupuk rasa disiplin dalam diri kita. Mudah ? Tentu saja tidak. Diperlukan pengorbanan yang besar. Tentu kita akan merasakan hal-hal yang tidak mengenakkan.

Rekan, “Jika kita menghayal akan hidup tanpa kesusahan, selalu lah mengingatkan diri kita bahwa pohon Oak justru bisa tumbuh besar akibat adanya terjangan angin yang kencang dan berlian bisa terbentuk justru akibat adanya tekanan yang kuat.” – Peter Marshall. (13.04.07)

 

Upaya Pengendalian Diri

Upaya Pengendalian Diri

 

Oleh: Dr Iken Lubis

 

Rekan, Saint Evremond pernah menuturkan : ”Seseorang yang mengetahui bagaimana mencampur kesenangan dengan bisnis sebenarnya tidaklah memiliki keduanya ... dan didalam pemanfaatannya, dia lebih suka menemukan relaksasi ...”.

 

Rekan, Masih segar diingatan kita perihal kejadian beberapa hari lalu. Seorang artis cantik yang tergolong masih muda, meninggal dunia dengan cara yang sangat diluar kewajaran dan kepatutan. Mengapa ??? Banyak orang coba berkomentar. Ada yang memang bermaksud untuk mengkaji permasalahannya, namun banyak juga yang menjadikan kasus ini sebagai ajang mencari popularitas. Sama kejadiannya dengan berita perihal seorang Da’i kondang yang memutuskan berpoligami. Sepertinya kejadian-kejadian di seputar kita sangat mudah dijadikan komoditi untuk mencari popularitas semu. Tanpa ingin mendiskreditkan pihak manapun apalagi ingin memanfaatkan situasi demi popularitas semu, saya ingin mengajak kita semua untuk sejenak merenungkan kejadian-kejadian aktual diseputar kita.

 

Kata-kata Saint Evremond diatas sudah sangat akrab dengan para pebisnis ulung. Bahkan berdasarkan pernyataan tersebut, mereka membuat semboyan : ”Don’t mixed business with pleasure ..., You won’t get anything”. Kalau kita menganalisa perjalanan karir sang Artis diatas, pasti kita semua sepakat bahwa Beliau sudah mengenyam sukses, yang bagi sementara orang masih harus mengucurkan berpuluh bahkan ratus liter peluh untuk terus mengejarnya, dalam usia yang tergolong dini. Uang yang berlimpah serta popularitas yang hinggap hingga ke mancanegara akrab menemaninya sejak belia usia. Mungkin ada satu hal yang dilupakan pada saat itu … PENGENDALIAN DIRI … Usia se belia itu tentunya masih belum bisa mengendalikan diri. Sebut saja Paul Gascoigne, pesepakbola ulung dari Inggris, atau Malik Abdul Aziz (Mike Tyson), petinju Amerika Serikat, nasib mereka sama. Uang dan popularitas di usia yang sangat muda telah menyeret dan menjerumuskan mereka ke jurang kehancuran. Penyebabnya ??? Ya ... mereka tidak dapat mengatasi dorongan hawa nafsu mereka ...

 

Rekan, jika kita telaah, apa lagi yang kurang dari Artis kita itu ? Harta ... jelas tidak, popularitas ... jelas tidak, lalu apa ??? Apakah kebahagiaan ??? Saya rasa juga tidak ... Lalu apa ??? Apakah hanya lantaran hawa nafsu untuk mencoba sesuatu yang terlarang yang akhirnya menjerumuskannya ke lembah kelam ??? Mungkin !!! Sangat mungkin !!! Dengan uang yang ada, saya rasa tidak ada masalah untuk membeli barang haram yang memang harganya selangit. Memang banyak teori yang beredar. Ada yang mengatakan kasus tersebut adalah murni kasus pembunuhan terencana akibat Beliau ingin meninggalkan atau keluar dari lembah kelam yang selama ini mengukungnya. Sedangkan para kroninya tidak ikhlas Beliau kembali ke jalan yang lurus. Tapi tidak sedikit pula yang menuding bahwa memang kasus itu terjadi karena Beliau sedang ”apes” akibat terlalu berlebihan menggunakan ”Jarum Neraka” ... hanya Tuhan yang tahu.

 

Rekan, saya tidak bermaksud untuk memperdebatkan penyebab kematian Beliau. Yang ingin saya tekankan disini adalah masalah PENGENDALIAN DIRI. Seharusnya orang sekitarnya lah, yang dalam hal ini keluarga terdekatnya, yang seharusnya membimbing Beliau dalam hal pengendalian diri sewaktu uang dan popularitas mulai datang bertamu.

Lao-Tsu dalam suatu kesempatan berkata kepada murid-muridnya : ”Seseorang yang mengendalikan orang lain mungkin saja berkuasa, namun seseorang yang mengendalikan dirinya sendiri jelas lebih berkuasa ... ”. Ya ... itulah sesungguhnya kekuasaan ...

 

Rekan, dalam kasus-kasus penyalahgunaan “MIRASANTIKA” (minuman keras dan narkotika) masyarakan selalu menganggap bahwa itu semua terjadi karena ada masalah. Baik masalah dilingkungan keluarga, rumah, sekolah atau percintaan. Apakah dalam kasus artis kita ini juga demikian ? Rekan, memang sejak dini kita disuguhi oleh nasehat-nasehat yang sebenarnya ”merusak” mental kita. Lho kok begitu ??? Ya ... semisalnya, sebagian orangtua selalu melarang anaknya main di tanah ... nanti cacingan, katanya. Sebagian dari orangtua juga melarang anaknya untuk ”pacaran”, alasannya klasik ... takut studi terganggu. Dan sebagainya – dan sebagainya ... Mungkin inilah yang menyebabkan anak muda sekarang lebih suka berpaling dari masalah daripada tegar menghadapinya dan mencoba mencari jalan keluarnya sendiri. Tanpa kita sadari, lagu pun ikut andil dalam hal ini. Sebagaimana sepotong syair dalam sebuah lagu yang sangat populer pada tahun 80 an : ”Jangan kau dekati mawar yang sedang berduri ... Jangan ... kan tertusuk nanti ...”. Coba bayangkan ... bunga mawar yang indah merekah dan semerbak wanginya harus kita jauhi hanya karena takut tertusuk ? Apakah kekhawatiran akan tertusuk duri harus menyebabkan kita ikhlas menjauhi sesuatu yang harusnya kita nikmati ???

 

Bertentangan dengan lagu tersebut, William S. Halsey justru berkata : ”Semua permasalahan menjadi lebih ringan apabila Anda menghadapinya daripada memperturutkannya. Jangan ragu menyentuh tanaman berduri karena Anda akan tertusuk; justru genggamlah ia dengan kuat, maka ia pun akan luluh”.

Rekan, terkadang kita harus berkorban demi penyelesaian masalah. Jangan pernah kita lari darinya. Masalah tidak akan pernah hilang dengan sendirinya. Kita harus berani menghadapinya.

Kalaulah memang kejadian yang menimpa Artis kita diatas adalah akibat pelarian dari sebuah masalah, begitu besar harga yang harus dibayar olehnya dan juga keluarga serta rekan-rekannya yang ditinggalkan. Apakah hal itu sebanding ???

 

Rekan, kesimpulan dari renungan kali ini adalah ”Kita harus bisa mengendalikan diri dan berani berhadapan dengan masalah yang datang menantang”. Tuhan tidak akan memberikan cobaan, baik yang berupa uang yang berlimpah, popularitas yang menjulang tinggi maupun masalah demi masalah yang kerap datang berkunjung, jika memang kita tidak bisa mengendalikannya. Jika Tuhan yakin kita bisa mengendalikannya, mengapa kita berani-beraninya berpikir sebaliknya ??? Apakah kita sudah meragukan keyakinan Yang Maha Kuasa ??? (15.12.06)

 

Semangat Berbagi

Semangat Berbagi

Oleh  Dr Iken Lubis

 

Pertama-tama perkenankanlah saya memohon maaf atas tidak terbitnya forum renungan kita minggu lalu dikarenakan adanya musibah banjir yang menimpa saudara-saudara kita. Pada kesempatan ini pula, saya ingin mengucapkan selamat bergabung kepada satu orang rekan kita. Semoga forum renungan ini dapat memberikan nilai lebih bagi kita semua ... Amin ...

 

Rekan, seminggu belakangan ini banyak diantara kita yang bahu-membahu menanggulangi bencana banjir. Terus terang, saya sangat terharu melihat begitu banyak rekan yang secara sukarela dan tanpa pamrih bergumul dengan air dan lumpur demi meringankan beban saudara-saudara kita yang terkena musibah tersebut. Tanpa rasa lelah sedikitpun yang tampak menghiasi wajah mereka walau telah berjam-jam menguras tenaga hingga lewat tengah malam. Sungguh, tiada kata-kata yang dapat melukiskan rasa terimakasih yang selalu terpatri di hati ... Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa lah yang dapat memberikan ganjaran bagi amal baik mereka.

 

Rekan, terlepas dari jerih payah dan dedikasi yang tinggi yang telah ditunjukkan oleh mereka, masih ada segores cerita miris yang seakan menyayat hati saat mendengarnya. Seorang Direktur di tempat saya bekerja yang notabene berpendidikan tinggi dan serba berkecukupan dengan tanpa rasa berdosa sedikit pun berkata : ”Buat apa saya ikut Bakti Sosial membersihkan rumah para korban. Toh tidak disediakan sarung tangan, sepatu boot, pelindung kepala dan asuransi bagi saya ...”. Tentunya, jangankan para korban banjir, semua orang yang mengaku masih waras pasti akan tersentak mendengar pernyataan tersebut. Memang adalah hak setiap orang untuk membantu atau pun tidak mau membantu. Tapi apakah pernyataan seperti itu pantas untuk diucapkan ? Apalagi jika kalimat tersebut keluar dari mulut seorang Direktur ... Maaf, sungguh BIADAB. Mungkin dia sudah lupa bahwa jika nanti dia mati, jenazah nya tidak akan bisa berjalan sendiri ke kubur ... masih diperlukan orang lain untuk mengangkatnya. Mungkin dia lupa jika rumahnya tertimpa musibah sejenis, dia tidak dapat keluar dari kepungan air jika tidak ada orang yang mengevakuasinya ...

 

Ingin rasa hati menegur Beliau dan memberikan nasehat sebagaimana yang pernah diutarakan oleh George Horace Lorimer : ”Sungguh baik untuk memiliki uang dan hal-hal yang bisa dibeli dengan uang, tetapi jauh lebih baik untuk sekali-kali memeriksa dan meyakinkan diri kita bahwa kita tidak kehilangan hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.” Semoga Tuhan dapat membukakan mata dan hatinya ...

 

Rekan, ada sebuah pepatah Jepang yang mengatakan : ”Untuk mempertahankan teman diperlukan tiga hal : Menghormatinya saat hadir, memujinya saat tidak hadir dan menolongnya saat ia memerlukan.” Alangkah indah dan bahagianya jika kita ada disamping seorang sahabat pada saat dia membutuhkan pertolongan kita. Itulah yang saya amati dari rekan-rekan sukarelawan yang terlihat begitu ceria sampai-sampai kelelahan tidak berarti apa-apa. Pakaian yang basah dan dingin yang datang menyelimuti seakan-akan berubah menjadi kehangatan saat melihat senyum kembali merekah dari bibir-bibir para saudara yang tertimpa musibah tatkala berhasil sampai ke lokasi mereka dan memberikan bantuan-bantuan yang dibutuhkan ... Sunguh ... suatu kebahagiaan yang hakiki ... Bukankah ”Kebahagiaan tergantung pada apa yang dapat kita berikan dan bukannya pada apa yang kita peroleh” sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Mohandas K. Gandhi ? Saya yakin kita semua sependapat dengan hal ini.

 

Rekan, musibah banjir memang telah membawa duka bagi para korban. Namun yang mengherankan, ditengah kedukaan yang mendalam, masih banyak kaum oportunis yang mengais kesempatan demi popularitas semu. Beragam komentar seakan tak bosan menghiasi media massa. Dan lucunya, apa yang di lontarkan oleh para oportunis tersebut sangat berbeda dengan kenyataan yang ada. Dimana mereka saat banjir belum melanda ? Apakah mereka sudah memberikan sumbangsih pemikiran, tenaga dan bahkan mungkin dana demi mencegah banjir tiba ? Justru tidak sedikit diantara mereka yang tanpa rasa berdosa menebang pohon-pohon nan rindang dikawasan Puncak untuk dijadikan villa-villa pribadi nan mewah walau sejujurnya belum tentu sebulan sekali dikunjungi. Tidak sedikit dari mereka yang memiliki bangunan-bangunan pencakar langit yang dibangun diatas tanah yang sebenarnya diperuntukkan sebagai daerah resapan air. Tidak sedikit dari mereka yang tanpa rasa bersalah menyelewengkan dana reboisasi demi kesenangan pribadi. Lalu ... apakah pantas mereka berkomentar ??? Apakah pantas mereka dicap pembela korban banjir ??? Apakah mereka pantas dianggap sebagai orang-orang bijak ??? Sangat bertolak belakang dengan apa yang pernah dikatakan oleh Confusius : ”Seorang bijak biasa berbuat sesuatu sebelum bicara dan kemudian baru berbicara sesuai dengan perbuatannya itu.” (16.02.07)

 

Rekan, mengakhiri renungan kali ini ada sepotong bait dari sebuah lagu yang saya rasa perlu kita renungkan :

Lean on me, when you're not strong

And I'll be you friend

I'll help you carry on

For it won't be long, till I'm gonna need

Somebody to lean on

 

Antara Realitas dan Mimpi

Antara Realitas dan Mimpi

 

Oleh Dr Iken Lubis

 

Ada sepenggal kalimat dari Dale Carnegie yang jika kita telaah, sangat cocok menggambarkan perilaku kita selaku manusia. Beliau berkata : “Salah satu hal tragis yang saya ketahui tentang manusia adalah semua dari kita selalu melupakan kehidupan nyata. Kita lebih memilih untuk tetap bermimpi akan sebuah keajaiban sebuah taman mawar diufuk sana daripada menikmati indahnya bunga mawar yang merekah diluar jendela kita hari ini.”

 

Rekan, bermimpi merupakan hal yang positif namun kita tidak boleh melupakan kenyataan yang ada diseputar kita … realita kehidupan … . Hari-hari belakangan ini mayoritas diantara kita pasti sedang bergembira. THR (tunjangan hari raya) sepertinya sudah didapatkan oleh kita. Tak bosan-bosannya saya mengingatkan kita semua untuk bertindak arif dalam memanfaatkan ”rezeki” mendadak tersebut. Kenapa ??? Bukankah hak kita untuk menggunakan rezeki tersebut sesuka hati kita ? Apakah kita tidak boleh menikmati nya dengan cara-cara yang kita inginkan ??? Tentu boleh ... Rezeki tersebut adalah hak kita. Kita bebas menentukan penggunaannya. Tapi janganlah kita melupakan kenyataan hidup sebagaimana yang digambarkan oleh Dale Carnegie diatas. Manusia cenderung ”gelap mata” jika sedang mendapat rezeki yang diluar kebiasaan. Seakan-akan seluruh isi dunia ingin dibeli. Belum lagi di suasana lebaran seperti sekarang ini, berduyun-duyun orang memaksakan diri untuk pulang ke kampung halaman untuk merayakan hari kemenangan bersama keluarga tercinta. Lalu, berapa banyak uang yang dapat disisihkan untuk menopang kehidupan masa datang ???

 

Pasti sebagian dari kita akan sentak bertanya. Apakah salah kalau kita ingin berkumpul bersama keluarga di hari lebaran ??? Jawabnya sudah pasti tidak ... Adalah hal yang mulia untuk bersujud memohon ampunan kedua orangtua secara langsung. Bukan itu yang salah ... Tapi rekan, manusia selalu ingin dipandang sebagai orang yang ”berhasil”. Entah berapa banyak uang yang akan dihambur-hamburkan hanya agar setiap warga ”mengakui” status nya setelah ”merantau”. Bahkan ada yang dengan sengaja menyewa mobil semi-mewah dengan harga lebih dari ½ juta rupiah perhari hanya agar masyarakan desa ”sungkan” kepada dirinya. Ada pula yang mendadak menjadi ”Toko Emas Berjalan”. Kalung emas (yang terkadang imitasi) seberat 2 kg sengaja dililitkan dilehernya, gelang emas dan cincin (yang juga terkadang imitasi) berbaris menghiasi pergelangan tangan dan jari jemari yang memang terlihat kurang indah. Semua kepura-puraan tersebut hanya sekedar untuk memuaskan hati ... Sungguh kebohongan diri yang tidak lucu ... Inilah yang sebaiknya dihindari.

 

Rekan, ”mudik” bukan berarti harus menghamburkan uang. Kalau jelas-jelas kemampuan kita tahun ini belum memungkinkan untuk kita berkumpul dengan keluarga, apakah kita harus memaksakan diri tetap untuk pulang ? Walaupun hanya akan meninggalkan hutang-piutang yang semakin menggunung ? Apakah kita sudah menganut ”Nyang sekarang aje nyang dipikirin ... Nyang ntar mah gimana nanti aje ...” ?

 

Rekan, kebiasaan ”mudik”, sebagaimana yang telah saya sampaikan diatas, bukanlah sesuatu yang diharamkan. Bahkan untuk menyambung tali persaudaraan, hal tersebut patut dilakukan. Hanya saja, kita harus ingat bahwa esok pun kita masih harus makan ... esok pun kita harus minum ... esok pun anak-anak kita harus membayar uang sekolah .. esok pun tagihan listrik akan tetap naik ... esok pun ... . Kebiasaan ”mudik” sudah menjadi realita kehidupan kita. Suatu situasi yang memang telah tercipta mungkin sejak Nabi Adam dan Hawa memiliki anak. Adalah hal sangat sukar untuk menghilangkannya. Zig Ziglar pernah mengatakan ”Pada kenyataannya, kita memang tidak mungkin mengatur situasi kehidupan kita, namun kita dapat mengatur perilaku kita agar sesuai dengan situasi-situasi kehidupan tersebut sebelum muncul persoalan.” Ya !!! ... bukannya kebiasaan ”mudik” yang harus dihilangkan tapi perilaku kita saat mudik yang harus disesuaikan. Bersedekah adalah hal yang sangat mulia. Namun ingat, kita tetap harus menyisihkan sesuatu untuk hari esok.

Rekan, ada satu hal lagi yang ingin saya utarakan pada kesempatan ini.

 

Setelah saya amati dengan seksama selama beberapa tahun belakangan ini, saya sependapat dengan Jim Rohn. Psikologis dari Amerika itu mengatakan ”Saya sangat kagum dengan cara sebagian besar orang merencanakan liburan mereka. Mereka merencanakannya dengan sangat baik dibanding merencanakan kehidupan mereka.” Terus terang, penggalan kalimat ini memiliki makna yang sangat mendalam. Namun harus kita akui, inilah yang terjadi pada sebagian besar dari kita. Jika harus berkata jujur, pasti banyak diantara kita yang akan mengakui bahwa kita sudah merencanakan liburan kita termasuk ”mudik” sejak berbulan-bulan yang lalu bahkan mungkin sejak pulang dari mudik tahun lalu. Namun sebagaimana yang telah saya katakan diatas, kita lupa untuk merencanakan kehidupan kita selama rentang satu tahun itu. Mudah-mudahan kita tidak termasuk dalam orang-orang yang dicontohkan oleh Jim Rohn diatas. Amin ..

 

Rekan, sebagai penutup forum renungan kali ini perkenankanlah saya atas nama keluarga dan pribadi mengucapkan ”Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Bathin ...” Semoga Lebaran ini semakin mempererat tali persaudaraan antar kita ... antar umat manusia ... Amin ... ( 18.10.06)

 


 

Rencana Saja Belum Cukup

Rencana Saja Belum Cukup

 

Oleh : Dr Iken Lubis

 

 “Jangan salah mengartikan antara rencana dan eksekusi / pelaksanaan. Rencana adalah suatu hal yang baik. Namun kita tidak dapat memenangkan apa pun hanya dengan sesuatu yang baik” – General Russel.

 

Rekan, kata-kata diatas sempat terlontar akibat kekecewaan seorang Jendral yang diberi mandat untuk menanggulangi bencana ”Badai Katrina” beberapa waktu lalu di Amerika Serikat. Bencana tersebut sempat mencoreng nama besar negara adikuasa tersebut. Betapa tidak, negara dengan julukan Super tersebut seakan tak berdaya menangani bencana yang diturunkan oleh Tuhan yang mungkin untuk beberapa negara merupakan ”bencana langganan”. Sang Jendral kecewa dengan banyaknya rencana yang dibuat oleh pembuat kebijakan namun pada gilirannya ”eksekusi / pelaksanaan” nya tidak dapat diwujudkan. Kenapa ??? Dalam kesempatan lain, wacana berkembang. Banyak yang mengatakan bahwa rencana tersebut dibuat oleh ”pembuat kebijakan” yang tidak mengetahui situasi dan kondisi dilapangan. Bahkan dengan nada yang lebih ekstrim, ada beberapa pihak berkomentar ”Bagaimana mereka membuat rencana yang baik jika pikiran mereka tertuju untuk mengupayakan dana tambahan bagi tentara yang terpaksa berada diluar negeri ???”

 

Rekan, dalam kehidupan kita sehari-hari, kita seringkali terjebak dalam kejadian senada. Jika harus jujur, mungkin kita semua sering membuat rencana-rencana yang akhirnya ”menguap” begitu saja ... tak berbekas ... Kenapa ??? Apakah karena kita memang hanya bersemangat dalam membuat rencana saja ??? Apakah mewujudkan rencana bukan menjadi hal yang terpenting ??? Kalu demikian, buat apa kita mencurahkan waktu, tenaga dan terkadang biaya dalam menyusun rencana kita ? Bukankah itu hanya pemborosan belaka ? Seorang sahabat yang kebetulan mempunyai posisi ”middle management” di sebuah perusahaan sering berkeluh - kesah : ”Semua rencana dibuat oleh Board of Directors. Mungkin mereka tidak tahu suasana dibawah ...”. Sungguh suatu pengakuan yang mungkin jujur.

 

Tapi apakah memang kekhawatriran tesebut yang nyata ada atau memang ada jurang antara petinggi dan level menengah ??? ”Pernahkah kamu coba untuk menanyakan kejelasan rencana tersebut ?” tanya saya kembali yang dijawab dengan gelengan kepala ... Mungkin inilah masalahnya. Salah satu sosok dari acara televisi anak-anak Sesame Street, Kermit the Frog, dalam sebuah seri pernah berkata : ”Mengajukan pertanyaan adalah sebuah cara yang baik untuk mengetahui sesuatu ...”. Seyogyanya, jika memang kita belum mengetahui cara yang tepat untuk mengeksekusi suatu rencana, adalah hal yang bijak jika kita mau bertanya kepada yang lebih mengetahui perihal rencana tersebut.

 

 Sama saja jika kita mempunyai sebuah cita-cita. Jika kita tidak tahu bagaimana meraihnya, tanyalah kepada orang yang lebih berpengalaman atau paling tidak kepada orangtua kita tentang bagaimana caranya ... Inilah yang membedakan bangsa kita dengan bangsa lain. ”Malu bertanya sesat dijalan” ... kata orangtua kita dahulu kala. Tapi kita sekarang ini lebih senang tersesat dahulu baru kemudian bertanya. ”Itung-itung jalan-jalan Dok ...” ujar seorang sahabat yang terkenal memang sering membuat orang sesat jika berpergian ...

 

Rekan, inti dari renungan kita kali ini adalah rencana itu sangat penting. Namun jauh lebih penting untuk mengeksekusinya. Mengakhiri renungan kali ini, ada sepotong kalimat dari Martin Luther King, Jr. yang sangat baik kita camkan : ”Waktu selalu tepat untuk melakukan sesuatu yang benar.” Jadi, apakah kita sudah merencanakan masa depan kita dan bagaimana kita akan mengeksekusinya ??? (19.01.07)

 

 

 

Tekad, Nasib dan Kejuangan

Tekad, Nasib dan Kejuangan

Oleh : Dr Iken Lubis

 

 “Dalam bisnis, terkadang kita harus menendang orang yang telah jatuh. Jangan membiarkannya untuk bangkit kembali karena nescaya, Anda lah yang akan tertendang di saat Anda lengah” Simon Cowell, juri American Idol.

 

Rekan, sekilas pernyataan diatas dapat membuat orang merasa marah. Begitu sadis nya kah dunia bisnis ? Apa hati nurani sudah tidak dapat dipakai lagi dalam berbisnis ? Pro dan kontra bisa saja datang silih berganti saat kita coba membahasnya. Tapi itulah kenyataannya ... hukum rimba berlaku dalam dunia bisnis. Namun renungan kali ini bukanlah ditujukan untuk membahas kejamnya dunia bisnis, melainkan coba menyibak sisi lain dari acara American Idol yang sudah tersohor ke manca negara ...

 

Rekan, mungkin sebagian besar dari kita tidak akan melepaskan kesempatan menonton acara American Idol di layar kaca. Saya sendiri termasuk salah satu orang yang selalu berusaha untuk menyempatkan diri menonton acara tersebut. Episode yang paling berkesan bagi saya adalah episode-episode audisi. Disana kita bisa melihat bagaimana arti “perjuangan” sesungguhnya. Terlihat jelas antara mimpi, usaha dan kenyataan. Terlepas dari kenyataan yang ada, saya rasa usaha para kontestan untuk meraih mimpinya perlu diacungkan jempol. Bayangkan saja, dengan segala kekurangannya, sebagian besar dari kontestan berani tampil ke depan. Apakah itu merupakan suatu sikap yang bodoh karena akan mempermalu diri sendiri ??? Mungkin sebagian dari kita menganggapnya seperti itu.

 

Tapi apakah memang demikian ??? Zig Ziglar pernah berkomentar : “Sebagian orang dapat berhasil karena memang digariskan seperti itu, namun hampir semua orang dapat berhasil karena mereka telah membulatkan tekad untuk itu.” Nah … para kontestan dalam acara tersebut sangat pas dijadikan contoh dari komentar Zig Ziglar. Bagaimana tidak ??? Tidak mudah untuk memberanikan diri untuk maju bersaing dengan ribuan orang hanya agar menjadi yang terbaik. Apalagi dengan kemampuan yang memang dibawah rata-rata. Pastilah membutuhkan tekad yang besar hanya untuk berani tampil selama beberapa puluh detik didepan para juri. Pastilah membutuhkan tekad yang sedemikian kuat hanya untuk mengeluarkan suara yang memang terkadang sumbang … Sungguh, sudah sepantasnyalah apresiasi diberikan kepada para kontestan.

 

Rekan, jika kita berkaca kembali kepada kehidupan kita masing-masing, apakah kita juga sudah “berjuang” demi mewujudkan impian kita ??? Apakah kita sudah tergolong orang yang akan menempuh segala rintangan demi sebuah impian ??? Apakah kita sudah membulatkan tekad kita demi meraihnya walau terkadang kita harus menanggung “rasa malu” yang selalu menghantui ? Hanya kitalah yang dapat menjawabnya.

 

Terkadang kita selalu bertanya kepada diri kita apakah kita bisa mewujudkan impian kita … Pertanyaan demi pertanyaan selalu kita ajukan tanpa sadar bahwa kita tidak akan dapat meraihnya hanya dengan pertanyaan. Jika kita tidak ingin di”tendang” oleh orang lain sebagaimana yang dikatakan oleh Simon Cowell, kita harus mempersiapkan diri, membulatkan tekad dan berjuang untuk meraih impian kita sesegera mungkin ... bukan mulai esok atau lusa melainkan sejak dari detik ini.

 

Mengakhiri renungan kali ini, saya ingin menuliskan kata-kata Walt Disney : ”Jika Anda dapat memimpikannya, Anda dapat melakukannya”. Oleh karenanya tetap lah bermimpi dan yakinlah bahwa mimpi itu pasti dapat terwujud ... Amin ... ( 26.01.07)

 

Arti Sebuah Nasehat

Arti Sebuah Nasehat


Oleh Dr Iken Lubis

 

Mungkin kita sudah sering mendengar ungkapan “Hemat pangkal kaya” … atau “Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit” … Sadarkah kita bahwa sudah sejak sedari kecil kita sangat akrab dengan penggalan kata-kata yang berisi pesan agar kita hidup berhemat. Sampai-sampai kita “diiming-imingi” akan menjadi kaya jika kita berhemat. Namun, apakah hal ini benar ? Apakah sesederhana itu untuk menjadi kaya ? Paling tidak itulah titik mula nya. Saya sependapat dengan hal tersebut. Sayangnya, sebagian besar dari orangtua zaman dahulu lebih gemar memberikan nasehat tanpa memberikan contoh. Bak kata orang sekarang … lebih banyak teori dibandingkan praktiknya. Kenapa saya tega berpikiran seperti itu ? Tidak lepas dari kenyataan bahwa semakin banyak orang kikir didunia ini. Dengan mengatasnamakan “berhemat” tanpa disadari nya, mereka telah menumbuhkan sifat kikir. Inilah yang sangat dikhawatirkan. Nasehat yang begitu bagus ternyata telah di manfaatkan oleh orang-orang picik untuk menghalalkan sifat kekikiran mereka.

 

Rekan, saya rasa cukup menarik kalau kita telaah kembali nasehat-nasehat para leluhur yang telah diturunkan kepada generasi demi generasi selama berabad-abad. Sekali lagi, sangat disayangkan bahwa nasehat-nasehat tersebut kurang lengkap dijabarkan dan didokumentasikan. Sebagai contoh, disebuah pulau kecil di propinsi Nangroe Aceh Darussalam, tak satupun nyawa melayang tatkala Tsunami datang menghantam. Rahasianya ? Secara turun temurun, orang-orang tua disana selalu berpesan kepada generasi berikutnya : ”Seandainya Kau rasakan bumi bergetar dan air laut surut secara tiba-tiba, berlarilah Kau secepat mungkin keatas bukit. Jangan Kau berhenti walau sekejap ...”, begitulah kira-kira pesan yang disampaikan. Sebelum bencana Tsunami datang, tidak satupun dari penduduk pulau yang mengerti maksud dari nasehat usang tersebut. Kenapa ? Tidak pernah dijelaskan ! Namun syukurlah kejadiannya bertolak belakang dengan contoh pertama diatas. Kali ini, nasehat yang diberikan diamalkan dengan sebenarnya. Walau tanpa dimengerti sedikitpun.

 

Rekan, apa yang ingin saya sampaikan adalah seringkali kita memberikan nasehat dan atau arahan kepada orang lain namun kita sendiri tidak pernah memberikan wejangan bagaimana caranya untuk dapat mencapai tujuan dengan selamat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jenderal George Patton : “Jika Anda meminta orang untuk mencapai suatu prestasi, namun Anda tidak memberikan arahan bagaimana mencapainya, Anda akan terkejut dengan hasil yang diperoleh oleh mereka”. Ya ... intepretasi orang bisa berbeda dari yang kita maksud jika kita tidak memberikan wejangan yang benar. Untuk itulah, kita harus memberikan ”rambu-rambu” terhadap nasehat / arahan yang kita berikan. Tutup setiap celah yang memungkinkan orang mengintepretasikan nasehat / arahan tersebut dengan hal yang bertolak belakang.

 

Seorang sahabat beberapa waktu lalu datang kepada saya. Dia bertanya kenapa saya senang memberikan nasehat kepada rekan-rekan saya. Saya menjawab singkat : “Agama saya mengajarkan saya untuk saling bernasehat kepada sesama manusia“. Lalu saya sampaikan kepada sahabat tersebut apa yang pernah di tuliskan oleh Jim Rohn : “Belajarlah untuk menolong orang bukan hanya dalam hal pekerjaannya; tolonglah mereka dalam menjalani kehidupan mereka“. Lalu sahabat tersebut bertanya kembali mengapa saya selalu mengambil contoh dari kehidupan saya dan lingkungan saya. Sambil tersenyum saya katakan : “Bukankah lebih baik mencontohkan diri kita sendiri dibanding orang lain yang mungkin saja tersinggung dengan tindakan kita ?“ Saya meneruskan dengan kata-kata Jim Rohn : Ada 3 hal yang akan Anda tinggalkan: foto-foto Anda, buku-buku Anda dan catatan pribadi Anda. Ketiga hal tersebut akan jauh lebih berharga bagi generasi mendatang daripada perabotan rumahmu.“

 

Rekan, memberikan nasehat / wejangan adalah baik. Tentunya akan hal-hal yang positif. Permasalahannya adalah seringkali kita merasa terlalu hijau untuk memberikan nasehat. Tidak ada kata tua atau muda dalam memberikan nasehat. Yang penting adalah perhatikan dengan seksama akan materi nasehat yang kita berikan. Apakah akan mengundang kebaikan atau justru akan membenamkan orang dalam kegelapan hidup ..( 29.10.06)