Kamis, 09 Agustus 2007

Sang Pahlawan Keluarga

Sang Pahlawan Keluarga

 

Oleh Dr Iken Lubis

 

Hari ini, tanggal 10 Nopember 2006, merupakan Hari Pahlawan di Indonesia. Sebagaimana ungkapan yang tersohor : ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa Pahlawannya ...”, saya rasa tidak ada salahnya pada kesempatan kali ini kita coba merenungkan arti Pahlawan itu sendiri ...

 

Rekan, banyak diantara kita yang mengartikan Pahlawan sebagai sosok ”Pejuang” yang mengangkat senjata demi kemashlahatan bersama. Namun jika kita perhatikan Taman Makam Pahlawan di Kalibata, ternyata tidak sampai 50 % yang dikebumikan disana berasal dari usur ”Pejoeang” atau Tentara. Ternyata banyak juga rakyat sipil. Bahkan pada kesempatan hari ini, Presiden Republik Indonesia menganugerahkan gelar ”Pahlawan Nasional” kepada mayoritas rakyat sipil.

 

Rekan, saya tidak bermaksud untuk berpolemik akan arti Pahlawan itu sendiri. Tapi, semakin saya menelaah sebuah ungkapan di awal renungan ini, ternyata saya tiba pada kesimpulan bahwa mungkin saja apa yang dikatakan sebagai ”Pahlawan” pada ungkapan itu adalah semua orang yang pernah membela ”kita”. Bukan hanya pejuang. Bahkan semakin dalam saya merenungkan, semakin dekat saya pada kesimpulan bahwa justru ”Pahlawan” sebagaimana yang dimaksud pada ungkapan diatas paling pantas diberikan kepada orangtua kita sendiri. Bukankah merekanlah yang paling berjasa ”mengusahakan” kita hadir didunia ini ? Bukankah mereka yang dengan penuh kasih sayang membesarkan kita ? Bukankah mereka yang telah mengucurkan keringat dan terkadang darah dan air mata demi makanan yang senantiasa ada di meja makan untuk kita santap ? Bukankah mereka yang menerjang kerikil tajam kehidupan dengan kaki bertelanjang yang terkadang menorehkan goresan-goresan luka demi tersedianya dana yang cukup agar kita dapat mengenyam pendidikan ? Bukankah mereka yang tak pernah bosan-bosannya mengejarkan kita norma-norma kehidupan ? Apakah mereka belum pantas diberikan gelar ”Pahlawan” ?

 

Rekan, satu lagi ”Pahlawan” yang jarang sekali kita akui adalah pasangan kita masing-masing. Kita selalu mengingat jasa-jasa orangtua kita, kita selalu mengingat tingkah laku anak-anak kita tapi apakah kita sering mengingat betapa besar jasa pasangan kita demi ”membesarkan” keluarka kita sendiri ? Jika harus berkata jujur, mungkin tidak sampai sepertiga dari kita yang mengaku bahwa dia selalu mengingatnya ... Begitu sombongnya kah kita ???

 

Seorang sahabat beberapa waktu lalu datang kepada saya. Dia mengeluhkan kondisi rumah ttangga nya yang diambang kehancuran. Padahal bahtera rumahtangga tersebut sudah diharungi selama 10 tahun. Yang saya sesalkan adalah, tidak tampak sedikitpun rasa sedih atas apa yang bisa saja menimpa. Kelihatannya memang sudah bulat tekadnya untuk menjalani kehidupan melalui jalan masing-masing yang berbeda. Apakah sudah tidak terbayang masa indah dahulu sewaktu masih mulai membina mahligai rumahtangga ? Apakah sudah tidak ada tersisa sedikit pun rasa kebersamaan sewaktu mengganti lantai rumah yang beralaskan tanah menjadi lantai yang berhiaskan marmer ?

 

Apakah sudah tidak ada lagi tersisa perasaan yang terwujud indah saat bahu membahu mengumpulkan uang untuk menggantikan televisi hitam putih pemberian orangtua menjadi TV LCD 50”, kulkas satu pintu hadiah pernikahan menjadi kulkas dua pintu side to side ? Apakah tidak ada lagi perasaan sayang seperti saat sang suami memeluk tatkala rasa takut datang menghantui hanya karena kucing-kucing liar bergaduh diatas genteng ... ??? Rekan, saya yakin seyakin-yakinnya, jika kita mau mengingat jasa-jasa pasangan kita (tentunya begitu pula sebaliknya), hal semacam ini pasti tidak akan berani menghampiri. Setiap rumahtangga pasti pernah dihampiri beda pendapat atau bahkan perdebatan, namun jika kita mau mengingat satu saja jasa pasangan kita yang paling membekas dihati kita, nescaya ... semua itu akan ada jalan keluar nya. Apakah kita terlalu congkak untuk mengingat hanya satu saja jasa pasangan kita yang membekas dihati kita masing-masing ?

 

Rekan, semua ini tentunya tergantung pada kita sendiri. Mungkin merubah diri adalah hal yang sukar. Kalau pekerjaan di kantor yang segudang itu saja bisa kita ingat, apakah yang menyebabkan kita tidak bisa mengingat satu saja jasa pasangan kita yang paling membekas dihati kita masing-masing ? Masalahnya mau atau tidak kita merubah pola pikir kita. Saya sangat yakin sebagian dari kita selalu mengingat jasa kita kepada pasangan kita dan bukannya sebaliknya. Mungkin ada baiknya kita mulai merubah pola pemikiran tersebut. Demi kemajuan dan pertumbuhan keluarga kita ... Gail Sheehy pernah menuliskan : “Jika kita tidak berubah, kita tidak akan maju / tumbuh. Jika kita tidak maju / tumbuh, kita sebenarnya tidak hidup ... .” Rekan, anggaplah pasangan Anda sebagai ”Pahlawan” yang jasa-jasanya perlu diingat terus-menerus. (10.10.06)

 

Tidak ada komentar: